Sabtu, 27 Juli 2013

Antara Asa dan Amanat



            Panas sinar matahari, seakan membakar kulitku, menjilat setiap bagian tubuhku yang tidak tertutupi pakaian lusuh, membuatku seakan berada di atas penggorengan. Tak tahan rasanya. Inginku segera berlari dan beranjak meninggalkan tempat ini. Namun, seperti ada sesuatu yang membuatku tak bisa beranjak. “Apa itu ??? hmm, ya, aku tau. Rupanya bis kota pembawa rejekiku belum datang. Astaga, lama sekali....” ucapku dalam hati.
            Tak lama kemudian, seakan ada sesuatu yang mengagetkanku hingga membuatku melupakan panas matahari yang sedari tadi telah menemaniku. Gumpalan asap abu – abu merasuk ke dalam hidungku. Membuyarkan lamunanku dan menyadarkanku bahwa bis telah datang. Akupun berlari meninggalkan tempat ini, kemudian masuk ke dalam bis pembawa rejekiku.
            Bis yang penuh sesak, sehingga tanpa terasa keringat menetes dari dalam tubuhku. Pemandangan bis yang kumuh, seakan menjadi makanan keseharianku. Kesesakan yang membuat terdorong hingga terjatuh di tengah himpitan orang – orang dewasa, sudah ku anggap sebagai permainan harianku.
            Kumulai memetik gitar dan mengeluarkan suaraku yang tak cukup merdu, namun dapat membuat suasana di dalam bis kota menjadi ceria. Lalu, kutengadahkan sebungkus permen kosong kepada mereka. Mereka hanya melihatiku dengan tatapan belas kasihan dan memasukkan uang receh ke dalam bungkus permen yang telah kusediakan. Akupun hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima kasih.
            Setelah bis menepi, ku bepindah ke bis lain jurusan Surabaya – Sidoarjo untuk kembali pulang. Setelah sampai di terminal Sidoarjo, akupun mulai menghitung pendapatanku dan memasukkannya ke dalam dompetkku sebagai uang tabunganku. Beginilah aktivitas yang selalu ku jalani setelah pulang sekolah. Pekerjaan ini kulakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupku.
            Saat malam menjelang, aku telah bersiap kembali ke rumah penampunganku. Di sana, aku tinggal bersama saudara –saudara seperjuanganku yang juga terjerumus dalam lingkaran hitam keserakahan. Di antara semua kawanku, hanya aku yang tinggal sebatang kara. Kehidupanku yang penuh dilema, membuatku hidup sebagai seorang pribadi yang tegar. Semua kepahitan dalam hidupku, adalah alur takdirku yang memang harus kujalani sendiri. Walau hidupku selalu berada di tengah keramaian, tapi aku masih merasa berada di sebuah ruangan gelap., dan tiada seorangpun yang datang untuk menyinariku. Sungguh berat hidup yang tengah kujalani, tapi aku berpikir behwa dunia ini selalu berputar dan aku tak ingin selalu diam merundungi nasibku sendiri.
            Malam ini adalah malam yang gelap nan tak berbintang, bagai mengisahkan tentang perjalanan hidupku yang selalu suram. Aku pun mulai bergegas tidur. Waktu menunjukkan pukul 10 malam, dan aku hanya memiliki 8 jam untuk beristirahat. Sungguh tank sebanding dengan kerja kerasku saat ini. Hanya penerangan lampu minyak yang menjagaku dari kegelapan malam. Aku pun mulai terjaga dalam mimpiku.
            Keesokan harinya, ku masukkan beberapa buku ke dalam tas kumuh yang penuh dengan tambalan jahitan. Aku pun menyiapkan segalanya. Waktu menunjukkan pukul 06.30, satnya aku melangkahkan kakiku tuk menggapai ilmu.
            Walau sekolahku telah tenggelam di telan lumpur, nemun berkat prestasiku, aku dapat bersekolah lagi di Sekolah Menengah Pertama 1 Sidoarjo. Ini adalah prestasi pertamaku, yang ingin aku pertahankan hingga esok kelak aku menjadi dewasa.setiap jam istirahat sekolah, tak seperti teman – temanku yang lain, aku selalu melangkahkan kakiku menuju tumpukan buku, yang tersusun rapi di dalam perpustakaan sekolahku. Kebiasaan ini rutin kulakukan semenjak aku berada di bangku Sekolah Dasar.
            Cukup sudah hari ini ku menuntut ilmu, rasanya ku ingin duduk di pinggir tenda penampungan. Aku pun mulai termenung menyaksikan beban yang di tanggung oleh para orang – orang seperjuanganku. Terlints di pikiranku tentang amanat mamas kepadaku. Saat itu tampak jelas tatapan mata mama yang penuh harapan untukku. Mama pernah mengatakan, bahwa mama ingin agar aku menjadi seorang anggota dewan bisa membantu banyak orang yang sedang tertimpa musibah. “Tapi ku tak ingin menjadi seorang anggota dewan, yang ku inginkan hanya menjadi seorang repoter  biasa dan bisa mencukupi kehidupanku kelak. Sebenarnya, sebelum mama meninggal, sudah sejak lama aku ingin mengatakan hal ini, tapi mama selalu tak memberiku kesempatan tuk menyampaikan asaku sendiri. Hingga akhirnya mama dan papa di tenggelamkan oleh ganasnya lumpur.” Penyesalanku dalam hati.
            Setelahku pikirku, ternyata mama benar juga. Aku harus memperjuangkan hidupku agar aku bisa membantu para korban dan merubah nasib mereka. Angin terbawa angin siang yang membangunkanku dari renunganku sedari tadi. Astaga, aku sudah terlambat datang ke terminal. Apa yang harus kulakukan? Hmm, mungkin hari ii rejekiku bukanlah di bis, melainkan aku harus mencarinya di sekitar terminal saja. “Aku pun segera menuju terminal, dan mengamen di sana. Untunglah, terminal hari itu tak begitu sepi seperti hari biasanya, dan hasil yang aku peroleh cukup untuk makam malam, bahkan masih tersisa benyak untuk ku sisihkan ke dalam dompetku.
            Aku pun langsung pulang, karena aku sadar, bahwa aku terlalu terlambat untuk makan malam dan belajar. Hanya sebungkus nasi yang yang aku peroleh dengan lauk pauh tahu, tempe, dan ikan asin. Ya, beginilah aku dan kehidupanku. Tapi, semua itu tetap aku syukuri. Setelah makan, aku pun mulai belajar. Tak terasa, sudah beberapa tumpukan buku yang aku baca hari in, tak terasa aku pun telah terjaga dalam tidurku.
            Keesokan harinya setelah pulang sekolah, aku memutuskan agar hari ini, aku tak mengamen. Aku ingin sekali ke toko buku dan mencari beberapa buku yang biasa menambah pengetahuanku. Satu detik, satu menit, satu jam pun kian berlalu. Akhirnya, aku mendapatkan buku – buku yang aku cari.
            Saat membayar di kasir, seorang kasir pun kaget dan bertanya
            “Apa – apa ini, mengapa kau membayar buku – buku ini dengan uang receh? Apa kau mau menghina toko ini?”
            “Tolong maafkan saya yang tak berdaya ini, tiada secuil pun niat untuk menghina toko ini, saya hanya ingin membeli buku, dan tak lebih dari itu. Uang yang saya miliki ini adalah hasih jerih payah mengamenkku, sehingga uang yang saya miliki receh semua.” Kataku dangan wajah yang murung.
            “lain kali, tukarkan dulu uangmu itu dengan uang selembaran, kau tau kan, ini adalh toko buku yang ternama. Jadi, pembelinya juga ingin kembalian uang selembaran, bukannya receh yang di jadikan untuk kembalian. Apa kau mengerti?” Tanya seorang kasir itu dengan nada tinggi.
            “baiklah, lain waktu saya akan kembali dan membayar buku – buku itu dengan uang selembaran seperti yang pintamu.” Kataku menyanggupi
            Mulai detik ini, aku mulai berjanji kepada diriku sendiri, bahwa aku akan berusaha menjadi seorang anak yang pandai dan selalu menjadi bingtang kelas, agar amanat mamaku dapat aku wujudkan dengan hasil yang maksimal.
            Malam ini, aku tak sanggup membeli sebungkus nasi untuk makan malam, karena sereceh pun aku tak punya. Uang tabunganku telah habis tuk membeli buku. Aku pun mencoba tuk memejamkan mataku, tanpa peduli suara yang menggebu dari dalam perutku. Perlahan namun pasti, aku telah memasuki alam bawah sadarku.
            Tiba – tiba aku mendengar suara yang entahlah dari mana datangnya. Aku pun kaget dan segera mencari asal suara itu. Semakin lama semakin jelas suara itu di telingaku, namun aku tak kunjung menemukan sesosok tubuh yang sedang berkata kepadaku.
            “Dina terima kasih atas usaha yang kau lakukan untuk mewujudkan amanat mama, mama sangat bangga bisa memiliki anak sepertimu. Terima kasih anakku.” Suara gaib itu dengan nada terharu.
            “mama, aku yakin itu suara mama. Mama di mana? Kenapa aku tak bisa menemukan mama? Aku sangat rindu kepada mama, aku ingin memeluk mama erat dan tak akan melepaskan mama lagi agar aku bisa bersama dengan mamaselamanya. Aku ingin menyusul mama di surga.” Ucapku dengan sejuta kesedian.
            “anakku sayang jangan bersedih. Jalani dulu takdirmu dengan berusaha menjadi seorang yang terbaik. Janganlah kau meminta kepada Tuhan tuk mendahului takdirmu nak, karena selagi kau bisa, maka kumpulkan amal baikmu untuk bekal di hari esok. Mama akan selau mendoakanmu dari  sini. Walau kita telah berpisah, tapi hati kita tetap bersatu untuk selamanya.”jelas mama Dina dengan senyuman sejuta kasih.
            “tapi ma, mama, mama, jangan tinggalkan aku lagi ma, mama....” teriakku, hingga aku terbangun dari mimpiku.
            Semenjak kejadian itu, aku semakin sering mengamen dan hasilnya, ku tabung untuk membeli buku.
            Suatu hari aku ingin membeli buku ditoko buku untukyang kedua kalinya. Aku pun teringat akan janjiku pada penjaga kasir.
            Dengan segera, aku berjalan di bawah sengatan sinar matahari yang kian lama, kian membakar kulitku. Aku bergegas tuk pergi ke tepi jalan, dan mencari kerumunan pedagang. Namun, semua itu tak semudah yang aku pikirkan . uang receh yang ingin ku tukar dengan selembaran kepada para penjual, sungguh sulit kudapatkan.
            Akhirnya, aku pun menuju ke perempatan lampu merah, di sana aku menukar uang receh kepada pengguna mobil, karena terpikir olehku, bahwa para pengguna mobil biasanya membutuhkan uang receh kepada para pengamen jalanan.
            Ternyata, usahaku membuahkan hasil. Dengan segera aku berlari di atas tanah yang tak rata dan tanpa terasa aku telah sampai di toko buku itu. Keringatku yang bercucuran, membasahi tubuhku yang tengah di landa oleh panasnya terik matahari. Lalu, aku masuk ke dalam toko, dan kurasakan sejuta kenikmatan. Hmmm, dingin! Tanpa terasa, keringat yang mengguyur tubuhku, kini telah kering sudah. Tak lama kemudian, aku sudah mendapatkan beberapa buku yang aku perlukan. Aku pun menuju ke kasir. Alangkah kagetnya kasir itu, bahwa perkataan gadis ini bisa ia pegang. Sang penjaga kasir pun melihatku dangan sejuta keheranan. Tapi aku membalasnya dengan sebuah senyuman.
            Tahun demi tahun pun berganti, kini aku menjadi seorang remaja yang sedang sibuk menuggu hasul jerih payahku selama ini. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, aku bisa bersekolah di kampu yang besar tanpa dipungut biaya sepeserpun.
            “Besok adalah hari pengumuman ujian akhirku. Jika ranking pertama berhasil kuraih lagi, maka aku akan menjadi sarjana dan bisa mendaftar menjadi anggota dewan. Ya Allah, semoga amanat mama dapat segera aku wajudkan, bantu hambaMu ini ya Allah. Jika aku boleh meminta satu pengharapan lagi, maka bantulah aku agar bisa menggapai cita – citaku menjadi seorang reporter. Suah lama aku mendabakan cita – citaku ini, maka kumohon bantulah hambamu yang hanya bisa berharap dan berusaha ini.” Doaku yang kupanjatkan saat sholat maghrib di masjid.
            Saat pagi menjelang, burung – burung berkicauan ke sana kemari mengitari jalan yang aku singgahi. Oh, betapa indahnya. Namun, perasaan was – was yang sedang menyelimutiku. Tak memperdulikanku dengan indahnya kicauan burung - burung itu.
            Sesampai di sekolah, papan pengumuman telah ramai dikerumuni bayak para pelajar. Ternyata, hasil ujian telah di pasang di papan pengumuman.
            Aku pun mulai mempercepat langkahku dan berdesakan di antara teman – temanku. Tak seberapa jelas, namun aku bisa membaca pengumuman itu. Betapa kagetnya aku , namaku berada di urutan paling atas dengan nilai yang palaing sempurna. Sontak aku pun langsung sujud syukur padanya. Kegembiraan yang saat ini ku rasa, seolah menghapus dukaku yang lalu. Kini aku telah mendapat gelar sarjana. Tapi tak cukup sampai di sini. Aku masih belum mewujudkan amanat mama.
            Beberapa bulan kemudian, aku telah memakai seragam resmi dan di kelilingi oleh orang –orang penting. Aku berhasil menjadi anggota dewan seperti amanat terakhir mama padaku. Di samping itu, aku juga menjadi seorang reporter di salah satu televisi swasta.
            Aku pun tak melupakan amanat mama agar selau membantu orang – orang yang tengah tertimpa musibah. Sebagian pendapatanku keberikan kepada mereka, begitupun dengan korban lumpur panas.
            Ternyata, perkataan banyak orang itu benar, bahwa bummi ini selalu berputar, begitupun nasibku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar