Panas sinar
matahari, seakan membakar kulitku, menjilat setiap bagian tubuhku yang tidak
tertutupi pakaian lusuh, membuatku seakan berada di atas penggorengan. Tak
tahan rasanya. Inginku segera berlari dan beranjak meninggalkan tempat ini.
Namun, seperti ada sesuatu yang membuatku tak bisa beranjak. “Apa itu ??? hmm,
ya, aku tau. Rupanya bis kota pembawa rejekiku belum datang. Astaga, lama
sekali....” ucapku dalam hati.
Tak lama
kemudian, seakan ada sesuatu yang mengagetkanku hingga membuatku melupakan
panas matahari yang sedari tadi telah menemaniku. Gumpalan asap abu – abu
merasuk ke dalam hidungku. Membuyarkan lamunanku dan menyadarkanku bahwa bis
telah datang. Akupun berlari meninggalkan tempat ini, kemudian masuk ke dalam bis
pembawa rejekiku.
Bis yang
penuh sesak, sehingga tanpa terasa keringat menetes dari dalam tubuhku.
Pemandangan bis yang kumuh, seakan menjadi makanan keseharianku. Kesesakan yang
membuat terdorong hingga terjatuh di tengah himpitan orang – orang dewasa,
sudah ku anggap sebagai permainan harianku.
Kumulai
memetik gitar dan mengeluarkan suaraku yang tak cukup merdu, namun dapat
membuat suasana di dalam bis kota menjadi ceria. Lalu, kutengadahkan sebungkus
permen kosong kepada mereka. Mereka hanya melihatiku dengan tatapan belas
kasihan dan memasukkan uang receh ke dalam bungkus permen yang telah
kusediakan. Akupun hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima
kasih.
Setelah bis
menepi, ku bepindah ke bis lain jurusan Surabaya – Sidoarjo untuk kembali
pulang. Setelah sampai di terminal Sidoarjo, akupun mulai menghitung
pendapatanku dan memasukkannya ke dalam dompetkku sebagai uang tabunganku.
Beginilah aktivitas yang selalu ku jalani setelah pulang sekolah. Pekerjaan ini
kulakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupku.
Saat malam
menjelang, aku telah bersiap kembali ke rumah penampunganku. Di sana, aku
tinggal bersama saudara –saudara seperjuanganku yang juga terjerumus dalam
lingkaran hitam keserakahan. Di antara semua kawanku, hanya aku yang tinggal
sebatang kara. Kehidupanku yang penuh dilema, membuatku hidup sebagai seorang
pribadi yang tegar. Semua kepahitan dalam hidupku, adalah alur takdirku yang
memang harus kujalani sendiri. Walau hidupku selalu berada di tengah keramaian,
tapi aku masih merasa berada di sebuah ruangan gelap., dan tiada seorangpun
yang datang untuk menyinariku. Sungguh berat hidup yang tengah kujalani, tapi
aku berpikir behwa dunia ini selalu berputar dan aku tak ingin selalu diam
merundungi nasibku sendiri.
Malam ini adalah
malam yang gelap nan tak berbintang, bagai mengisahkan tentang perjalanan
hidupku yang selalu suram. Aku pun mulai bergegas tidur. Waktu menunjukkan
pukul 10 malam, dan aku hanya memiliki 8 jam untuk beristirahat. Sungguh tank
sebanding dengan kerja kerasku saat ini. Hanya penerangan lampu minyak yang
menjagaku dari kegelapan malam. Aku pun mulai terjaga dalam mimpiku.
Keesokan
harinya, ku masukkan beberapa buku ke dalam tas kumuh yang penuh dengan
tambalan jahitan. Aku pun menyiapkan segalanya. Waktu menunjukkan pukul 06.30,
satnya aku melangkahkan kakiku tuk menggapai ilmu.
Walau
sekolahku telah tenggelam di telan lumpur, nemun berkat prestasiku, aku dapat
bersekolah lagi di Sekolah Menengah Pertama 1 Sidoarjo. Ini adalah prestasi
pertamaku, yang ingin aku pertahankan hingga esok kelak aku menjadi dewasa.setiap
jam istirahat sekolah, tak seperti teman – temanku yang lain, aku selalu
melangkahkan kakiku menuju tumpukan buku, yang tersusun rapi di dalam
perpustakaan sekolahku. Kebiasaan ini rutin kulakukan semenjak aku berada di
bangku Sekolah Dasar.
Cukup sudah
hari ini ku menuntut ilmu, rasanya ku ingin duduk di pinggir tenda penampungan.
Aku pun mulai termenung menyaksikan beban yang di tanggung oleh para orang –
orang seperjuanganku. Terlints di pikiranku tentang amanat mamas kepadaku. Saat
itu tampak jelas tatapan mata mama yang penuh harapan untukku. Mama pernah
mengatakan, bahwa mama ingin agar aku menjadi seorang anggota dewan bisa
membantu banyak orang yang sedang tertimpa musibah. “Tapi ku tak ingin menjadi
seorang anggota dewan, yang ku inginkan hanya menjadi seorang repoter biasa dan bisa mencukupi kehidupanku kelak.
Sebenarnya, sebelum mama meninggal, sudah sejak lama aku ingin mengatakan hal
ini, tapi mama selalu tak memberiku kesempatan tuk menyampaikan asaku sendiri.
Hingga akhirnya mama dan papa di tenggelamkan oleh ganasnya lumpur.”
Penyesalanku dalam hati.
Setelahku
pikirku, ternyata mama benar juga. Aku harus memperjuangkan hidupku agar aku
bisa membantu para korban dan merubah nasib mereka. Angin terbawa angin siang
yang membangunkanku dari renunganku sedari tadi. Astaga, aku sudah terlambat
datang ke terminal. Apa yang harus kulakukan? Hmm, mungkin hari ii rejekiku
bukanlah di bis, melainkan aku harus mencarinya di sekitar terminal saja. “Aku
pun segera menuju terminal, dan mengamen di sana. Untunglah, terminal hari itu
tak begitu sepi seperti hari biasanya, dan hasil yang aku peroleh cukup untuk
makam malam, bahkan masih tersisa benyak untuk ku sisihkan ke dalam dompetku.
Aku pun langsung
pulang, karena aku sadar, bahwa aku terlalu terlambat untuk makan malam dan
belajar. Hanya sebungkus nasi yang yang aku peroleh dengan lauk pauh tahu,
tempe, dan ikan asin. Ya, beginilah aku dan kehidupanku. Tapi, semua itu tetap
aku syukuri. Setelah makan, aku pun mulai belajar. Tak terasa, sudah beberapa
tumpukan buku yang aku baca hari in, tak terasa aku pun telah terjaga dalam
tidurku.
Keesokan
harinya setelah pulang sekolah, aku memutuskan agar hari ini, aku tak mengamen.
Aku ingin sekali ke toko buku dan mencari beberapa buku yang biasa menambah
pengetahuanku. Satu detik, satu menit, satu jam pun kian berlalu. Akhirnya, aku
mendapatkan buku – buku yang aku cari.
Saat
membayar di kasir, seorang kasir pun kaget dan bertanya
“Apa – apa
ini, mengapa kau membayar buku – buku ini dengan uang receh? Apa kau mau
menghina toko ini?”
“Tolong
maafkan saya yang tak berdaya ini, tiada secuil pun niat untuk menghina toko
ini, saya hanya ingin membeli buku, dan tak lebih dari itu. Uang yang saya
miliki ini adalah hasih jerih payah mengamenkku, sehingga uang yang saya miliki
receh semua.” Kataku dangan wajah yang murung.
“lain kali,
tukarkan dulu uangmu itu dengan uang selembaran, kau tau kan, ini adalh toko
buku yang ternama. Jadi, pembelinya juga ingin kembalian uang selembaran,
bukannya receh yang di jadikan untuk kembalian. Apa kau mengerti?” Tanya
seorang kasir itu dengan nada tinggi.
“baiklah,
lain waktu saya akan kembali dan membayar buku – buku itu dengan uang
selembaran seperti yang pintamu.” Kataku menyanggupi
Mulai detik
ini, aku mulai berjanji kepada diriku sendiri, bahwa aku akan berusaha menjadi
seorang anak yang pandai dan selalu menjadi bingtang kelas, agar amanat mamaku
dapat aku wujudkan dengan hasil yang maksimal.
Malam ini,
aku tak sanggup membeli sebungkus nasi untuk makan malam, karena sereceh pun
aku tak punya. Uang tabunganku telah habis tuk membeli buku. Aku pun mencoba
tuk memejamkan mataku, tanpa peduli suara yang menggebu dari dalam perutku.
Perlahan namun pasti, aku telah memasuki alam bawah sadarku.
Tiba – tiba
aku mendengar suara yang entahlah dari mana datangnya. Aku pun kaget dan segera
mencari asal suara itu. Semakin lama semakin jelas suara itu di telingaku,
namun aku tak kunjung menemukan sesosok tubuh yang sedang berkata kepadaku.
“Dina terima
kasih atas usaha yang kau lakukan untuk mewujudkan amanat mama, mama sangat
bangga bisa memiliki anak sepertimu. Terima kasih anakku.” Suara gaib itu
dengan nada terharu.
“mama, aku
yakin itu suara mama. Mama di mana? Kenapa aku tak bisa menemukan mama? Aku
sangat rindu kepada mama, aku ingin memeluk mama erat dan tak akan melepaskan
mama lagi agar aku bisa bersama dengan mamaselamanya. Aku ingin menyusul mama
di surga.” Ucapku dengan sejuta kesedian.
“anakku
sayang jangan bersedih. Jalani dulu takdirmu dengan berusaha menjadi seorang
yang terbaik. Janganlah kau meminta kepada Tuhan tuk mendahului takdirmu nak,
karena selagi kau bisa, maka kumpulkan amal baikmu untuk bekal di hari esok.
Mama akan selau mendoakanmu dari sini.
Walau kita telah berpisah, tapi hati kita tetap bersatu untuk selamanya.”jelas
mama Dina dengan senyuman sejuta kasih.
“tapi ma,
mama, mama, jangan tinggalkan aku lagi ma, mama....” teriakku, hingga aku
terbangun dari mimpiku.
Semenjak
kejadian itu, aku semakin sering mengamen dan hasilnya, ku tabung untuk membeli
buku.
Suatu hari
aku ingin membeli buku ditoko buku untukyang kedua kalinya. Aku pun teringat
akan janjiku pada penjaga kasir.
Dengan
segera, aku berjalan di bawah sengatan sinar matahari yang kian lama, kian
membakar kulitku. Aku bergegas tuk pergi ke tepi jalan, dan mencari kerumunan
pedagang. Namun, semua itu tak semudah yang aku pikirkan . uang receh yang
ingin ku tukar dengan selembaran kepada para penjual, sungguh sulit kudapatkan.
Akhirnya,
aku pun menuju ke perempatan lampu merah, di sana aku menukar uang receh kepada
pengguna mobil, karena terpikir olehku, bahwa para pengguna mobil biasanya
membutuhkan uang receh kepada para pengamen jalanan.
Ternyata,
usahaku membuahkan hasil. Dengan segera aku berlari di atas tanah yang tak rata
dan tanpa terasa aku telah sampai di toko buku itu. Keringatku yang bercucuran,
membasahi tubuhku yang tengah di landa oleh panasnya terik matahari. Lalu, aku
masuk ke dalam toko, dan kurasakan sejuta kenikmatan. Hmmm, dingin! Tanpa
terasa, keringat yang mengguyur tubuhku, kini telah kering sudah. Tak lama
kemudian, aku sudah mendapatkan beberapa buku yang aku perlukan. Aku pun menuju
ke kasir. Alangkah kagetnya kasir itu, bahwa perkataan gadis ini bisa ia pegang.
Sang penjaga kasir pun melihatku dangan sejuta keheranan. Tapi aku membalasnya
dengan sebuah senyuman.
Tahun demi
tahun pun berganti, kini aku menjadi seorang remaja yang sedang sibuk menuggu
hasul jerih payahku selama ini. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, aku bisa
bersekolah di kampu yang besar tanpa dipungut biaya sepeserpun.
“Besok
adalah hari pengumuman ujian akhirku. Jika ranking pertama berhasil kuraih
lagi, maka aku akan menjadi sarjana dan bisa mendaftar menjadi anggota dewan.
Ya Allah, semoga amanat mama dapat segera aku wajudkan, bantu hambaMu ini ya
Allah. Jika aku boleh meminta satu pengharapan lagi, maka bantulah aku agar
bisa menggapai cita – citaku menjadi seorang reporter. Suah lama aku mendabakan
cita – citaku ini, maka kumohon bantulah hambamu yang hanya bisa berharap dan
berusaha ini.” Doaku yang kupanjatkan saat sholat maghrib di masjid.
Saat pagi
menjelang, burung – burung berkicauan ke sana kemari mengitari jalan yang aku
singgahi. Oh, betapa indahnya. Namun, perasaan was – was yang sedang
menyelimutiku. Tak memperdulikanku dengan indahnya kicauan burung - burung itu.
Sesampai di
sekolah, papan pengumuman telah ramai dikerumuni bayak para pelajar. Ternyata,
hasil ujian telah di pasang di papan pengumuman.
Aku pun
mulai mempercepat langkahku dan berdesakan di antara teman – temanku. Tak
seberapa jelas, namun aku bisa membaca pengumuman itu. Betapa kagetnya aku ,
namaku berada di urutan paling atas dengan nilai yang palaing sempurna. Sontak
aku pun langsung sujud syukur padanya. Kegembiraan yang saat ini ku rasa,
seolah menghapus dukaku yang lalu. Kini aku telah mendapat gelar sarjana. Tapi
tak cukup sampai di sini. Aku masih belum mewujudkan amanat mama.
Beberapa
bulan kemudian, aku telah memakai seragam resmi dan di kelilingi oleh orang
–orang penting. Aku berhasil menjadi anggota dewan seperti amanat terakhir mama
padaku. Di samping itu, aku juga menjadi seorang reporter di salah satu
televisi swasta.
Aku pun tak
melupakan amanat mama agar selau membantu orang – orang yang tengah tertimpa
musibah. Sebagian pendapatanku keberikan kepada mereka, begitupun dengan korban
lumpur panas.
Ternyata,
perkataan banyak orang itu benar, bahwa bummi ini selalu berputar, begitupun
nasibku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar